Sunday, March 31, 2013

The Book Thief -- The Tears Thief.


Buku ini tentang apa sih? Well..

Buku ini berkisah tentang Death. Death, atau kematian yang selalu ditakuti sama manusia, ternyata bekerja sangat keras pada zaman perang dunia. Di tengah-tengah pekerjaan yang melelahkan itu, ia bertemu Liesel Meminger. Ia bertemu Liesel pada saat ia sedang ‘bekerja’ pada tubuh adik Liesel. Saat itulah Death mengikuti hidup Liesel dari kejauhan dan memutuskan untuk mengisahkannya pada kita.

Liesel saat itu berusia 9 tahun, dan ibunya memutuskan untuk menitipkannya dan sang adik pada sepasang suami istri miskin. Namun, Death ditugaskan untuk hal yang berbeda. Tubuh adik Liesel terpisah dari arwahnya di pelukan Liesel dalam perjalanan menuju rumah orangtua asuh mereka.

Ketika sang adik dimakamkan, Liesel tidak sengaja menemukan sebuah buku di tumpukan salju di dekat makam adiknya. Buku milik tukang gali kubur itu ia simpan, meski ia tidak bisa membaca. Sejak saat itulah ia menjadi sangat terobsesi pada buku.

Di rumah kedua orangtua asuhnya, Liesel perlahan-lahan mampu menyingkirkan bayang-bayang ibu serta adik kandungnya, dengan cinta yang unik dari Hans dan Rosa Hubermann. Bersama Papa Hans, yang merupakan seorang pemain akordion, ia belajar membaca. Caci maki serta hidangan mengerikan dari Mama Rosa menjadi sahabat baiknya setiap hari. Dan tentu saja, Rudy “Saukerl” Steiner, anak lelaki sebelah rumah yang menjadi lawan mainnya dalam sepakbola.

Ditambah lagi kehadiran pria muda Yahudi yang bersembunyi di basement rumah mereka.

This book is all about love. Friendship. Warmth of the family. War. NAZI. Anti-Jews. Bombs. Music. Colours. And books. Narrated by Death.

***

Akhirnya, setelah sekitar 3 bulan penantian dan pengharapan, gue baca The Book Thief juga. (Too bad, it doesn't have any Indonesian version.) That was such an exciting sensation, to really grab book you’d been hoped for a long time. Sekian lama gue nahan-nahan diri buat ngga baca spoilernya terlalu banyak, dan yep, i got it. I read it. And i sobbed. A lot.

Akhir cerita yang bisa ditebak sih: no happy ending. Sejak awal, gue udah kena spoiler, kalo buku ini bakalan bikin mewek-mewek. Gue tau itu. And i thought i was totally prepared for the crying-a-river moments. Jadi gue ga bakal terlalu syok lagi.

Tapi ternyata gue salah.

Buku ini indah. Bukan indah dari kata-katanya, kayak The Fault in Our Stars. (John Green is the masterpiece of WORDS) Buku ini indah dari gimana Markus Zusak ngebangun emosi pembacanya lewat adegan-adegan yang nyentuh. Gimana si Mama Rosa terus-terusan menghardik Liesel, gimana Rudy ngeselin banget jadi temen, gimana si Max (menurut gue) agak sok-sok strong. Kesannya menambah miserable hidup si Liesel (yang udah miserable). But on the contrary, at the middle of this book, you’ll see that you just can’t simply hate any of these characters. You can’t. Dan inilah yang juga membuat The Book Thief ‘nyelekit’. Too much ironical scene on this. Too much.

All in all, I highly suggest this book to you all, book lovers. 

No comments:

Post a Comment