Rumah Aman, Itulah nama yang mereka berikan bagi rumah ini. Rumah yang akan melindungiku dan ketiga saudariku untuk sementara, selama kedua orangtuaku menjalani proses pemeriksaan di kantor polisi akibat dugaan menelantarkan anak-anaknya. Dugaan menelantarkanku dan adik-adikku.
"Adikmu, Ina, ditemukan Bu Darsih dan putranya sedang duduk sendirian di depan rumah kalian maghrib-maghrib kemarin. Masih pakai seragam sekolah, kotor sekali. Rambutnya berantakan, wajahnya coreng-moreng ternoda tanah. Kasihan dia," ujar Bu Rumi, salah satu pengurus Rumah Aman kemarin pagi. "Entah apa yang telah Ina lalui. Tapi ia kuat, tidak menangis."
Tetanggaku menjelaskan tidak bisa menemukan siapa-siapa di rumah. Pintu rumah terkunci, gembok menggantung di pagar. Sia-sia mereka mencoba membunyikan bel. Tidak ada siapa-siapa di rumah kami.
Terang saja, ayah dan ibu seharusnya masih berada di Singapura hingga akhir minggu depan. Ibuku kembali diterapi. Penyakit iblis yang menghisap kesehatan mentalnya perlahan-lahan kembali bagaikan sel-sel kanker. Kejiwaan ibu memang sering terganggu setelah melahirkan Ina, si adik bungsuku, 8 tahun yang lalu. Seharusnya, kami dititipkan di rumah tante Ami. Tetapi ia terlalu sibuk untuk mengawasi kami.
Ketika aku dan si kembar berada di sekolah hingga sore hari, Ina pun bebas pergi ke manapun teman khayalannya mengajaknya bercengkrama.
"Rei, ayo makan! Ajak Gia, dan Avi juga," suara Bu Rumi terdengar dari lantai bawah. Ina sudah di lantai bawah. Aku pun beranjak keluar kamar, menuju pintu kamar si kembar.
"Muak gue sama keluarga kita. Selama ini gue udah maklumin si klepto, ibu yang depresi, ditambah lagi Ina yang makin gila. Tapi sekarang, kita di penampungan. Orang tua kita di kantor polisi atas tuduhan nelantarin anak. Malu banget gue kalo sampe temen-temen gue yang tau!" bisik-bisik penuh amarah itu terdengar dari dalam kamar. Suara Gia.
"Mungkin benar, semua ini kutukan Tuhan buat ayah," isak lirih Avi
Oh ya, sudahkah kusebutkan bahwa ayahku mantan pecandu narkoba?
"Kutukan buat kita, Vi. Buat kita!" Gia kian meledak.
Aku memutuskan untuk mengabaikan mereka dan langsung melangkah lurus-lurus ke arah tangga dan menuju ruang makan. Kupandangi jam porselen di atas meja ruang tengah. Pukul 2 siang. Sudah terlampau siang untuk makan. Tetapi ketepatan waktu bukan prinsip utama Rumah Aman.
Omong-omong, jam porselen itu bagus. Aku menginginkannya.
--15/5/15. 00;15
No comments:
Post a Comment