Friday, September 12, 2014

Path: Sosmed dengan Spesialisasi Untuk Pamer (?)

Jumat siang-bolong-panas-kering-kerontang (12/9) ini gue berangkat ke kampus buat sebuah mata kuliah, satu dari tiga mata kuliah terakhir yang benar-benar butuh "perkuliahan" sepanjang masa bakti gue sebagai mahasiswa di kampus ini. Bukan satu-satunya kuliah di hari itu sebenarnya, tapi karena matkul sebelumnya juga didoseni oleh dosen ini (sang dosen megang semua kuliah gue yang tersisa semester ini, so...well), jadi rasanya agak-agak "meh". (Beliau juga pasti merasa "meh" karena ketemu kami lagi). Selepas shalat zuhur di masjid kampus, bergegaslah gue ke fakultas karena kelas dijanjikan dimulai sekitar pukul 13.00. Tau-taunya molor sampe jam 13.45. Yeah, as an introductory section of this post, I am trying to describe you how tiring it was to sit on that class and think clearly. So, whatever I wrote here about the lecture, it's just my another random thought.

Dikuliahi Beliau selalu menarik. Dikuliahi, bukan ketika Beliau meminta kami gue untuk berargumen di depan kelas. Oh you know, I'm A-blooded and I'm awkward. Contoh-contoh yang Beliau berikan untuk materi kuliah sangat mudah dipahami karena kekinian dan dekat dengan mahasiswa. Siang ini, waktu diskusi kelompok kecil terjadi diantara kami dengan sang dosen, salah satu teman membahas tentang bagaimana ia menganggap bahwa media sosial Path sering diasosiasikan sebagai media untuk pamer bagi para penggunanya.

Kebiasaan pengguna Path untuk mengunggah momen "place" ke akunnya menjadi contoh yang diberikan teman gue. Dia bilang, orang-orang update cuma ketika berada di tempat-tempat yang mahal, mewah, atau eksklusif....apalah itu, untuk pamer kalau mereka sering mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Begitu juga dengan foto-foto yang diunggah. Apalagi, bukan rahasia kalau aplikasi Path hanya bisa dinikmati di smartphone, yang berarti sasarannya kaum menengah ke atas. Makanya, ia sependapat dengan banyak orang kalau Path seringkali digunakan untuk ajang pamer orang-orang berduit. Ditambah lagi, seorang teman lain di samping gue berbisik "makanya gue nggak mau bikin Path". Uh, seriously?

Setelah dia menjelaskan argumennya ini, pastilah ada tanggapan dari dosen. Tapi gue nggak fokus. Gue nggak dengerin gimana jawaban dosen secara keseluruhan, cuma samar-samar nangkep kalau beliau juga lagi melakukan penelitian seputar penggunaan Path. Gue anggep tanggapan beliau sebagai angin lalu, karena seketika itu juga the randomest part of my brain bekerja dan menghasilkan tanggapan pribadi gue akan isu yang dilemparkan teman gue ini. Ingat: tanggapan ini hasil buah pikir bagian random otak gue, jadi yaa random juga hasilnya.

Tanggapan pertama gue adalah seriusan nih cuma Path doang yang dapet penghakiman sebagai sosmed pamer? Gimana dengan Instagram? Oke, mungkin Instagram cuma bisa buat foto sama video, nggak bisa buat pamer "gue lagi di menara eiffel nih". Eh masa?....bisa kok, di foto yang lo unggah ke Instagram kan bisa lo tambahin 'location'. Bisa lo tambahin hashtag macem-macem pula, seringkali hashtag yang agak narsis: #AyuGoesToParis blablabla *lah*. Nah, apa nggak pamer juga tuh namanya? Lagipula, sebelum Path booming, udah ada sosmed update lokasi sejenis kok: Foursquare. Terus kenapa Path yang "dibully"? :)))

Terus, gue juga mikir. Perasaan dari dulu yang seringkali terlintas di timeline gue kala mainan Path adalah gambar-gambar koplak dan gombal. Mulai dari lelucon Khong Guan, nama-nama artis yang diplesetin, dan lain-lain. Kalau benar citra Path sebagai sosmed buat pamer, berarti postingan koplak kayak gitu juga bagian dari ajang pamer-pameran siapa yang lebih lucu gitu? *mind blown*

Teman gue yang tadi dengan bangganya ngomong bahwa citra Path yang dianggap untuk pamer inilah yang membuat dia ogah membuat akun Path juga bikin gue bingung. Bukankah dengan berceloteh bahwa dia nggak mau pamer adalah bentuk pamer dirinya sendiri? Iya, dia pamer kalo dia gak punya Path karena gak mau pamer. *Pamerception*

Bukannya ngebelain Path, gue sendiri sebenarnya tim Twitter garis keras karena sejauh ini cuma di Twitter gue bisa nongkrongin livescore pertandingan-pertandingan Jerman dan klub-klub Bundesliga dengan mudah. Ngepo tentang apapun juga gampang banget di Twitter, apapun bisa dikepoin. Begitupun dengan interaksi: di Twitter, interaksi nggak terbatas, bisa dengan siapa saja, mulai dari teman sesama fans Jerman sampe pemain timnas Jermannya sendiri, Seringkali pula gue nyinyir tentang orang-orang yang seluruh isi tweetnya merupakan momen dia di Path yang disinkronisasikan ke Twitter. But...seriously guys, menurut gue ANEH kalau orang-orang menganggap Path sebagai sosmed dengan spesialisasi pamer, karena aktivitas pamer itu terletak di mental masing-masing pengguna sosmednya. Kalau memang dia punya mental hobi pamer, semua sosmed yang dia miliki bisa jadi ajang pamer, bukan Path doang. Dan untuk masalah Path dianggap eksklusif karena cuma bisa dinikmati sama pengguna smartphone, gue rasa itu perkara waktu. Instagram juga sampai sekarang masih "eksklusif", tapi sekarang perlahan-lahan banyak tuh web yang bisa dipake buat mengakses Instagram lewat browser, misalnya Statigram (sekarang Iconosquare). Meskipun kayaknya belom bisa buat unggah fotonya ya.... CMIIW. (Anyway, tambahan nih, kayaknya orang-orang yang pro paham deh cara mengoperasikan aplikasi-aplikasi smartphone di browser.) See? It's just the matter of time.

Jadi....ya gitu. Gue rasa stereotype tentang Path sebagai ajang pamer mesti dipikir-pikir lagi, deh. :)))

No comments:

Post a Comment