Tahu program televisi “Olimpiade Indonesia Cerdas”? Malam ini, inspirasi gue nulis di blog berawal dari kegiatan menonton program tersebut beberapa jam yang lalu. Gue sempat berusaha mengekspresikan perasaan gue lewat Twitter, tapi Twiter membatasi gue untuk menulis. (Remind me to write about how Twitter reduce writing abilities. Case study: Me, Myself, and I) So, I will tell the whole story here.
Salah satu peserta dalam acara ini adalah sekolah gue. Hingga tombol “Publish” di post ini gue klik, Smansasi masih belum tersingkir. Mungkin itulah penyebab utama mengapa gue penasaran sama tayangan ini. Kedekatan emosional pada almamater, rasa bangga dan penuh dukungan pada adik-adik angkatan, seperti itulah. Hahaha. Malam ini Smansasi tidak bertanding. Meskipun demikian, ada satu hal yang membuat gue bersemangat menonton OIC.
Episode OIC yang ditayangkan beberapa saat yang lalu menghadirkan tiga SMA, SMAN 33 Jakarta, SMAN 1 Klaten, dan SMAN 3 Bandung. Buat Papa, yang ikut nobar sama gue, episode kali ini menarik karena adanya kedekatan emosional pada keluarga kami. SMAN 1 Klaten adalah SMA tante gue dan SMAN 3 Bandung adalah SMA sepupu gue. Sedangkan buat gue, OIC malam ini menarik karena secara tidak terduga membuka kenangan lama gue. Kenangan yang sebenarnya penuh luka, karena sepanjang ingatan gue, hal inilah yang menjadi kegagalan menyesakkan pertama dalam hidup gue.
Maafkan segala dramatisasi dalam tulisan ini, ya!
Tidak banyak yang tahu bahwa target gue di tahun terakhir SMP adalah bersekolah di SMAN 3 Bandung. Gue bahkan lupa, apa Papa pernah sadar bahwa anak perempuan satu-satunya ini pernah bercita-cita merantau di usia yang belum mencapai 15 tahun ke kota yang mesti ditempuh 2,5 jam perjalanan jauhnya dari rumah. Kakak gue tahu. Jelas dia tahu. Dia sempat mencari-cari informasi mengenai berapa standar nilai untuk dapat diterima di sekolah itu – tinggi sekali. Pada saat itu, SMAN 3 Bandung adalah sekolah menengah atas terbaik di Jawa Barat. (Sekarang masihkah? Sepertinya begitu.) Gue yang sekarang mungkin akan membuang jauh angan-angan itu mengingat seberapa cerdas gue, meskipun target untuk dapat bersekolah di tempat yang “diberi status terbaik” sebetulnya bukan target yang istimewa. Meskipun demikian, diri gue pada saat itu masih sangat naif. Gue bermimpi begitu tinggi tanpa takut jatuh. While, so sad, I have to admit that I’m not a bright student. And I’m not really into pure science.
Demikianlah, gue gagal. Standar nilai yang diberikan oleh SMAN 3 Bandung tidak mampu gue raih. Jangankan meraih, mendekati saja tidak. Serius, NEM SMP gue barangkali salah satu yang terburuk di angkatan SMA gue. Untung saja, SMA gue pada saat itu belum memberlakukan sistem NEM. Setelah ikut tes masuk, alhamdulillah gue menjadi bagian dari Pyramid Smansasi.
Jika ada yang secara tidak sengaja mengunjungi laman blog ini, Anda mungkin akan berpikir “yaelah, lo sekolah di mana juga ngga mutlak menentukan kesuksesan lo.” That’s right. Tetapi apa yang gue rasakan lebih daripada “mau sekolah di mana”.
It’s all about how I set my own targets and how much my responsibility to achieve those.
Sejak kecil gue diberi kebebasan dalam menentukan jalan hidup gue. Okelah, gue belum ngeh masa-masa TK dan SD. Gue bersekolah dasar dan menengah pertama di tempat yang sama seperti kakak gue. Gue tidak pernah meminta les ini-itu, karena memang gue hanya senang bermain pada masa itu. Tetapi sejak SMP, gue bebas mau les apa saja, ikut kegiatan apa saja. Banyak orang tua teman-teman gue yang melarang mereka ikut ekskul A/B/C/D/.../Z karena alasan yang juga dari A sampai Z. Papa-Mama? Selama “lurus” dan gue hepi, orang tua pasti memberi restu.
Now I wish you understand. Kegagalan yang gue alami bukan sekadar gagal ingin masuk sekolah impian. Gue merasakannya sebagai kegagalan mencapai target yang telah gue tetapkan untuk diri gue sendiri. Gue gagal bertanggung jawab pada kebebasan yang telah gue dapatkan.
Sorry, I can’t handle being too serious, I need to laugh out loud now. HAHAHAHAHAHAHAHAHA.
Sebenarnya, sejak SMA gue telah mendapatkan pencerahan atas rahasia Allah di balik kegagalan itu. Bayangkan, bersekolah di Smansasi saja sudah membuat gue kepayahan BAHKAN SEJAK KELAS SEPULUH. :) :) :) Entah apa jadinya kalau gue merantau ke Bandung! Bodohnya, kegagalan bersekolah di kota kembang tidak gue jadikan pelajaran. Gue gagal lagi bertanggung jawab atas target gue berikutnya: untuk berkuliah di kampus yang amat gue inginkan. Kegagalan yang satu ini sudah jadi rahasia umum. Siape sih yang nggak tau gimana tinggi gue ngayal jadi dokter, sampe milih snmptn aje dua-duanya ngambil FK padahal kemampuan IPAnya cetek banget?
I don't feel ungrateful for my life for what I've achieved so far. It's just sooo sad, you know, to remember about your failures in the past. But as I struggle for my thesis, I hope I don’t do anything stupid that leads to another and another failure. I need to learn to be responsible to my own goals. I need to be responsible to my future life.
Ngomong-ngomong, gue suka quote ini. :)
No comments:
Post a Comment