Aku berlari melerai angin terus dan terus tiada henti. Napasku yang mulai tersengal-sengal tak dapat membuat otak dan hatiku --yang sebenarnya jarang bekerja sama-- luluh dan sepakat untuk mengakhiri segala penderitaan yang dirasakan oleh kedua kakiku. Tidak. Mereka tidak kuizinkan berhenti. Tidak sampai Tuhan mengambil nyawaku. Mungkin aku akan mati saat ini, saat di mana jantungku menyerahdan enggan memompa darah ke sekujur tubuhku lagi. Tapi mungkin juga tidak karena Tuhan masih merasa bahwa aku belum berlari. Bahkan mungkin di mataNya, belum se-senti pun aku bergerak.
Satu hal yang bukan merupakan kemungkinan: aku tak akan berhenti. Atau setidaknya belum berhenti.
Aku tak akan berhenti saat ini.
Biarkan saja sepasukan debu menyerangku, hingga menimbulkan rasa perih pada kedua bola mataku. Aku tak mau peduli. Biarpun aku buta, aku takkan hilang arah. Naluri navigator ulung yang kuwarisi dari nenek moyangku --konon mereka para penguasa seribu lautan yang handal-- menjadikan penghasut-penghasut itu tidak berkutik melawanku. Aku sudah katakan tadi, bukan? Aku tak akan berhenti.
Tidak, tidak saat ini.
Dan tidak ada yang mampu membuatku berhenti.
Kecuali sang penguasa sanubariku,
serta Tuhanku, dengan pekerjaNya yang siap sedia memutus hubungan ruh dan tubuhku kapanpun Ia mau.
Hingga saat itu tiba, aku tak akan berhenti.
Okt 31, 2011 - 12:52
JT.05.02.10
No comments:
Post a Comment