Alhamdulillah, gue (kami, lebih tepatnya) dapet tempat jobtre yang tidak melihat diri kami sebagai anak-magang-sasaran-empuk-buat-dijadiin-OB-darurat. Di tempat ini, kekayaan intelektual kami dihargai *ahzek* atau setidaknya kerjaan kami nggak cuma mengkliping, memfotokopi, atau membuat kopi. Di satu sisi, gue bersyukur banget. Di sisi lain, jiwa gue yang ala-ala grumpy cat mulai bergejolak: gue nggak siap kerja. Loh, kenapa?
Masalahnya bukan karena gue merasa panik karena tidak memiliki skill (walaupun memang gue tidak memiliki skill), tetapi karena gue merasa bakalan nggak kuat kalau harus terkungkung dalam kehidupan kerja yang
Kalau udah kayak gini, gue jadi amat sangat luar biasa bersyukur mengenal bangku kuliah: seminggu kuliah cuma 4 hari paling sering. Bahkan kutukan tugas seabrek-abrek yang datang menghampiri silih berganti pun bukanlah masalah besar, karena semua itu ada akhirnya: akhir semester. Kamu tahu apa yang terjadi di akhir semester? UAS. BUKAN. Libur, maksud saya. Libur dua bulan lamanya. Libur sampe otak di jempol kaki, jempol kaki di otak saking udah kelewat blo'onnya, hingga nggak ada materi kuliah yang nyangkut dari semester sebelumnya. Intinya, selalu ada air dingin yang siap menyiram tubuh mahasiswa-mahasiswa yang kepanasan akibat api neraka yang disulut oleh para dosen. Dan sialnya, air dingin itu mampet begitu akan disiram ke tubuh kebakar-deadline-kerjaan para orang kantoran.
Maybe after all, college life is the best moment of my life: the possibility to runaway from this never-ending-tiredness is much bigger than in any other life.
No comments:
Post a Comment