Sungguh, seharusnya aku mulai merasa cemas. Kawan-kawanku satu persatu mendaftar sidang akhir. Beberapa yang lainnya sudah terjun ke lapangan untuk merampungkan penelitian mereka. Tidak usah disinggung lagi bagaimana satu di antara kawan angkatanku yang bahkan sudah wisuda. Sedangkan diriku hingga detik ini bahkan belum pernah mendapatkan pencerahan dari dosen pembimbing. Salahkan Beliau yang begitu sibuk, begitu ujarku dalam hati. Namun, kurasakan bagian terdalam diriku berteriak lantang: "KAULAH YANG SELALU MENUNDA!"
Sungguh, aku merasa buruk ketika menyadari bahwa diri ini tidak sama sekali termotivasi oleh bayangan senyum kedua orang tua kala mendapati putri bungsunya yang bandel menyelesaikan rangkaian pendidikan formalnya. Jarum jam yang tidak pernah berhenti berderap hanya kurasakan sebagai pemecah keheningan. Tidak berarti lebih.
Aku selalu berusaha melakukan apapun sebaik-baiknya, dalam kurun waktu yang sesuai dengan harapan. Tetapi entah apa yang salah dengan diriku belakangan ini.
Tidakkah kau ingin cepat mengenakan toga, menerima gelar sarjana, melepaskan diri dari beban hidup orang tua yang membiayai hidupmu selama 21 tahun ini, wahai aku?
Duh aku..... |
Sungguh, aku ingin cepat lulus.
Tapi...
Aku takut.
Aku takut tidak lagi menjadi mahasiswa. Empat tahun aku menyandang status itu dan aku telah merasa nyaman di dalam lindungannya.
Mahasiswa yang baik adalah yang dapat berkontribusi bagi masyarakat. Begitu kata orang. Lalu aku? Tidak begitu.
Mahasiswa yang baik adalah mahasiswa yang kritis, inisiatif, dan proaktif. Itulah yang sering dikoar-koarkan. Lalu aku? Tidak begitu.
Masa-masa menjadi mahasiswa adalah masa-masa penuh idealisme khas pemuda. Idealisme? Punyakah aku?
Lalu, mengapa aku harus merasa nyaman berada di bawah lindungan status yang aku sendiri tidak pernah berlaku seolah-olah status tersebut dalam genggamanku selama empat tahun ini?
Aku takut tidak lagi menjadi mahasiswa.
Aku takut pada kehidupan setelah kelulusan.
Selama ini aku berlindung di dalam benteng imajinasi yang melindungiku dari kerasnya dunia nyata.
Aku ingin selamanya menjadi mahasiswa. Status itu adalah benteng imajinasi yang selalu melindungiku dari kerasnya dunia nyata.
Menghabiskan 8 jam dalam sehari, 5 hari dalam seminggu di balik meja kerja, di bawah kungkungan sebuah institusi yang seketika merenggut kebebasanku bukanlah hal yang kuharapkan terjadi dalam dunia imajinasiku. Aku belum sempat melakukan ini, belum merasakan menjadi itu. Banyak hal yang belum tuntas kulakukan. Aku ingin memperpanjang masa-masaku menjadi mahasiswa. Kurasa itulah jawaban bagi ketiadaan emosi yang kurasakan mengingat lambatnya pergerakanku dalam menyelesaikan tugas akhir.
Bagiku, tugas akhir bagi peneliti pemula sepertiku sebenarnya bukanlah hal yang sulit. Seharusnya dapat dilakukan dengan cepat. Tetapi rasanya sel-sel dalam tubuhku menolak melakukannya dengan mulus. Karena ia takut lulus.
Ya, kini aku paham kala mereka berujar "mumpung masih mahasiswa".
Aku takut lulus, oh Tuhan...
No comments:
Post a Comment